Oleh: Anggun Safitri
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Dalam sistem peradilan perdata di Indonesia, surat gugatan adalah pintu masuk sebuah perkara. Lebih dari sekadar dokumen, gugatan menentukan apakah suatu sengketa dapat diperiksa dan diadili oleh hakim. Di balik selembar surat gugatan, terletak nasib pihak yang mencari keadilan. Namun dalam kenyataannya, banyak perkara gugur sebelum berperang karena surat gugatan tidak memenuhi syarat formal: tidak jelas, tidak lengkap, atau tidak sinkron antara kronologi dan tuntutan. Ketidakcermatan ini seringkali mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (NO) oleh hakim, meskipun substansi perkaranya kuat.
Permasalahan yang paling mendasar adalah:
Mengapa ketepatan penyusunan surat gugatan menjadi begitu penting, dan bagaimana kesalahan dalam menyusun gugatan dapat menghambat penggugat untuk memperoleh keadilan?
Gugatan yang tidak tepat bukan hanya membuat proses menjadi lambat, tetapi juga menghilangkan peluang penggugat untuk dinilai secara substansial. Ketika gugatan dinyatakan kabur (obscuur libel), perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Keadilan akhirnya tidak dicapai karena terhalang oleh formalitas teknis.
Hukum Indonesia secara jelas menetapkan bahwa gugatan harus disusun secara tertulis dan ditujukan kepada pengadilan negeri yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR. Selain itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa peradilan harus dilakukan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Artinya, proses hukum tidak boleh diperlambat oleh kesalahan administrasi yang seharusnya dapat dihindari.
Mahkamah Agung bahkan secara konsisten dalam berbagai putusan menyatakan bahwa gugatan yang tidak jelas atau tidak sinkron antara posita (dasar alasan gugatan) dan petitum (tuntutan) akan menyebabkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan kata lain, kejelasan gugatan adalah syarat hukum dan syarat keadilan.
Ketika gugatan disusun dengan tidak tepat, akibatnya sangat serius. Misalnya, dalam kasus perbuatan melawan hukum (PMH), penggugat menguraikan kronologi kerugian dalam posita tetapi dalam petitum justru meminta pemenuhan prestasi layaknya wanprestasi. Perbedaan ini membuat hakim sulit mengambil putusan, karena aturan menyatakan bahwa posita harus mendukung petitum.
Tidak jarang juga gugatan dinyatakan error in persona karena identitas pihak yang digugat tidak lengkap atau salah. Kesalahan ini menyebabkan gugatan harus diajukan ulang, sehingga memakan waktu, energi, dan biaya. Ini bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ketidakcermatan dalam gugatan pada akhirnya tidak hanya merugikan pihak pencari keadilan tetapi juga membebani pengadilan dengan perkara yang seharusnya bisa diperiksa dengan lebih efektif jika gugatan disusun dengan benar. Ketepatan penyusunan gugatan menjadi nyawa dari sebuah proses hukum—tanpa gugatan yang tepat, tidak ada keadilan yang dapat diberikan oleh hakim.
Ketepatan dalam penyusunan surat gugatan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan syarat mutlak bagi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Gugatan yang jelas akan memudahkan hakim memahami duduk perkara, mempercepat proses persidangan, serta memastikan bahwa tuntutan penggugat dapat diputus dan dieksekusi. Sebaliknya, gugatan yang kabur justru menghentikan proses sebelum substansi dipertimbangkan.
Menurut pandangan saya, kegagalan banyak gugatan bukan karena penggugat tidak memiliki hak, tetapi karena ketidaktepatan dalam menyusun gugatan. Banyak orang datang ke pengadilan dengan keyakinan bahwa mereka benar, tetapi mereka tidak dapat menunjukkan kebenaran itu melalui surat gugatan yang terstruktur.
Peradilan adalah tempat mencari keadilan, tetapi keadilan tidak akan sampai kepada mereka yang tidak mampu menyusunnya dengan tepat. Gugatan bukan hanya syarat hukum, melainkan seni menyusun argumen. Ketika gugatan disusun dengan jelas, logis, dan sistematis, maka proses hukum berjalan efektif, dan peluang mendapatkan keadilan jauh lebih besar.
“Keadilan di pengadilan dimulai dari selembar surat gugatan. Ketika gugatan salah, maka semua langkah setelahnya ikut tersesat.”














