Oleh : Chelsea Aulia
Jurusan : Hukum
Universitas Bangka Belitung
OPINI — Pada tahun 2018 terjadi kekisruhan, seorang warga di Kota Bandung bernama Pak Eko Purnomo. Rumah kontrakannya tiba-tiba ditutup oleh tembok bangunan lain sampai-sampai tidak punya akses jalan keluar. Beliau, tinggal di rumah sendiri tapi tidak bisa keluar lewat pintu depan. Kasus ini akhirnya sempat ramai dibahas di media sosial dan bahkan sampai terdengar ke telinga Presiden Jokowi serta Ridwan Kamil yang waktu itu masih menjabat Wali Kota Bandung.
Secara hukum, kasus ini termasuk sengketa perdata, karena menyangkut persoalan hak kepemilikan dan akses tanah antara dua pihak yang sama-sama merasa punya poin yang harus diluruskan. Kalau dilihat dari aturan, Pasal 570 KUHPerdata jelas menyebutkan bahwa “Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara bebas dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain.” Ditambah lagi, Pasal 1365 KUHPerdata (Perbuatan Melawan Hukum) menegaskan bahwa “Menutup akses orang ke rumah/kawasan hidupnya termasuk perbuatan yang merugikan, sehingga bisa digugat.”
Artinya, seseorang memang boleh memanfaatkan tanahnya sebebas mungkin, tapi tetap harus memperhatikan kepentingan orang lain. Dalam kasus ini, menutup akses rumah jelas bertentangan dengan dasar pasal tersebut. Namun seperti yang sering terjadi, teori hukum di atas kertas tidak selalu mudah diterapkan di lapangan. Proses hukum bisa panjang, membingungkan, dan seringkali tidak berpihak pada masyarakat awam yang minim pemahaman tentang aturan dasar.
Dan bisa kita lihat faktanya bahwa ada banyak faktor kenapa masalah seperti ini bisa muncul. Pertama, faktor hukum penegakannya terlihat lemah dan prosesnya sering memakan waktu lama. Kedua, faktor sosial kurangnya kesadaran warga tentang batas tanah dan etika bertetangga. Ketiga, faktor ekonomi harga tanah yang makin naik membuat sebagian orang bertindak egois. Keempat, faktor administrasi data tanah yang tidak akurat menyebabkan batas kepemilikan tumpang tindih. Kelima, faktor pemerintah kurangnya sinergi antara BPN, pemerintah daerah, dan aparat hukum membuat penyelesaian sengketa berjalan lambat.
Menurut ahli hukum agraria Prof. Boedi Harsono, persoalan tanah di Indonesia terus berulang karena ketidaktepatan pengelolaan dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Ia menekankan bahwa masalah pertanahan tidak cukup diselesaikan hanya dengan aturan tertulis, tetapi membutuhkan ketegasan aparat, data yang rapi, serta keberpihakan pada masyarakat luas. Pemikirannya relevan dengan kasus Pak Eko, yang menunjukkan bahwa hukum sudah ada tetapi belum benar-benar melindungi yang lemah. Kadang hukum terasa seperti tembok itu sendiri, tinggi dan kokoh, tetapi menjadi penghalang bagi rakyat kecil.
Menurut saya, pemerintah harus lebih gencar menatar hal-hal yang memperlambat proses hukum dan penyelesaian masalah, terutama di bidang tanah dan bangunan. Intervensi sejak awal bisa meredakan konflik dan mencegah kasus berakhir di pengadilan. Selain itu, masyarakat perlu saling memahami agar tidak terjadi kesalahpahaman, karena urusan legalitas tanah bukan hal yang mudah dipahami, apalagi diselesaikan tanpa pemahaman yang cukup.
Untuk menyelesaikan persoalan seperti yang dialami Pak Eko, langkah pertama yang paling tepat adalah mempertemukan para pihak melalui mediasi resmi yang difasilitasi pemerintah daerah, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran ulang dan verifikasi batas tanah oleh BPN agar tidak ada lagi kerancuan soal hak akses. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa penutupan akses dilakukan tanpa dasar hukum, pemerintah wajib memerintahkan pembongkaran tembok dan memulihkan keadaan seperti semula, disertai pemberian sanksi kepada pihak yang melanggar. Selain itu, pembenahan administrasi pertanahan serta peningkatan kesadaran masyarakat mengenai hak dan kewajiban terkait tanah perlu dilakukan agar konflik serupa tidak terus berulang.
Pada akhirnya, kasus Pak Eko bukan cuma soal tembok yang menutup akses rumah, tetapi juga simbol dari bagaimana akses terhadap keadilan di negeri ini masih belum terbuka lebar. Hukum seharusnya menjadi jembatan menuju keadilan, bukan dinding yang memisahkan siapa yang punya kuasa dan siapa yang tidak.














