Oleh : Ahmad khadafi (Mahasiswa universitas Bangka Belitung)
OPINI — Berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah dibuat untuk mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Secara teori, sistem hukum Indonesia sudah mampu melindungi hak warga, menindak pelanggaran, dan menjaga ketertiban. Namun dalam praktiknya, kekuatan aturan tersebut tidak selalu diterjemahkan menjadi penegakan hukum yang efektif.
Masalah utamanya bukan pada kurangnya aturan, tetapi pada ketidaktegasan dan ketidakmerataan dalam penegakan hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa hukum sering diterapkan dengan pendekatan yang tidak konsisten. Pelanggaran kecil diproses cepat, sementara kasus besar yang melibatkan tokoh berpengaruh berjalan lambat atau tampak “dipermainkan” oleh kepentingan tertentu. Situasi ini menimbulkan persepsi kuat di masyarakat bahwa “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas”, sebuah fenomena yang mencerminkan ketidakadilan.
Selain itu, korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam lembaga penegak hukum menjadi tantangan tambahan. Meskipun tidak semua aparat bermasalah, keberadaan oknum yang menerima suap, memanipulasi proses hukum, atau menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi membuat masyarakat semakin skeptis terhadap keadilan. Hal ini melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan membuat aturan yang sebenarnya sudah kuat menjadi tidak efektif.
Di sisi lain, masyarakat juga berperan dalam lemahnya penegakan hukum. Kesadaran hukum yang rendah, budaya “asal aman”, dan kebiasaan menyelesaikan pelanggaran secara informal membuat pelanggaran dianggap wajar. Ketika masyarakat tidak mematuhi aturan, sebaik apa pun sistem hukum yang ada, pelaksanaannya tetap akan sulit berjalan maksimal.
Menurut saya, masalah utama hukum di Indonesia bukan kekurangan aturan, tetapi aturan yang sering tunduk pada kepentingan mereka yang berkuasa. Di Indonesia, hukum kadang terlihat seperti “alat politik”: keras kepada masyarakat kecil, namun lunak dan fleksibel bagi kelompok yang memiliki kekuatan ekonomi dan jaringan kekuasaan. Korupsi yang mengakar di berbagai level pemerintahan semakin memperburuk situasi, membuat hukum tampak bisa “dibeli” atau dinegosiasikan. Selama sistem hukum masih dipengaruhi oleh kekuatan uang dan elit politik, keadilan akan sulit tercapai. Reformasi hukum yang sesungguhnya menuntut keberanian untuk membongkar kepentingan yang sudah mengakar, bukan sekadar mengubah aturan di atas kertas.














